Jekson Sulangi SH : Nilai Jaminan Melebihi Pokok Hutang, Tak Ditemukan Perbuatan Melawan Hukum
manadoterkini.com, MANADO – Perkara kredit macet di Bank Jatim dengan terkdakwa Henry Kusnohardjo dan Bram Kusnohardjo, nampak sekali dipaksakan. Demikian penilaian Jekson Sulangi SH selaku tim penasehat hukum berdasarkan fakta-fakta persidangan yang kini terus bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya.
Advokat asal Manado yang sedang naik daun ini kemudian menguraikan fakta-fakta menarik dari pernyataan saksi ahli yang dihadirkan penuntut umum di persidangan, Rabu (7/2/2024) kemarin.
Dimana dalam sidang kali ini mendatangkan dua saksi fakta dan satu ahli. Dua saksi tersebut adalah Hendry Pranata Sembiring, mantan Relationship Manager (RM) Bank Jatim dan Rika Agustina, Pimpinan Cabang Bank Jatim HR Muhammad dan ahli Prof. DR. Nur Basuki Minarno, SH., MH., seorang Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Menurut penjelasan Jekson, Prof Dr. Nur Basuki Minarno dalam keterangannya mengatakan bahwa tidak ada perbuatan melawan hukum apabila sekalipun mungkin bertentangan dengan aturan, tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati, tapi kemudian hal itu disetujui, ahli mengatakan bahwa itu tidak ada masalah.
Yang dimaksud Jackson Sulangi ini adalah terkait pembayaran kredit PT Semesta Eltrindo Pura (PT. SEP) yang seharusnya melalui termin pembayaran dari PT. WIKA ke rekening PT. SEP di Bank Jatim tidak dilakukan namun yang terjadi adalah adanya penyetoran pembayaran langsung yang dilakukan PT. SEP, namun diterima Bank Jatim sebesar Rp. 12,5 miliar.
Karena ada kredit macet maka Bank Jatim menganggap sisanya yang sebesar Rp. 7,5 miliar inilah yang bermasalah.
Dengan fakta-fakta yang ada, Jekson Sulangi juga menilai, bahwa perkara ini dan penetapan Bram Kusnohardjo serta Henry Kusnohardjo sebagai terdakwa nampak sekali dipaksakan. Mengapa? Meski terjadi kredit macet di tahun 2015, namun di tahun 2016 hingga 2023 masih ada pembayaran dan adanya agunan yang dilelang, namun tiba-tiba ada kebijakan untuk dilakukan addendum.
Lebih lanjut Jekson mengatakan, PT SEP dan Bank Jatim memiliki hubungan hukum utang piutang yang didasari oleh perjanjian kredit. Perjanjian ini termasuk dalam ranah hukum perdata. Kredit PT SEP di Bank Jatim dilengkapi dengan jaminan yang sesuai dengan ketentuan Kredit Pola Kepres, sehingga seluruh prosesnya mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku.
“Namun, kredit SEP mengalami macet. Sesuai ketentuan, Bank Jatim sebagai kreditur seharusnya melakukan lelang eksekusi terhadap jaminan yang ada untuk menutupi utang kredit senilai Rp 7,5 miliar lantaran dianggap kerugian keuangan negara,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan saksi yang dihadirkan Jaksa di persidangan lanjut Jekson, nilai jaminan PT SEP pada saat terjadi kredit macet melebihi nilai pokok hutang.
Dan Bank Jatim telah melakukan upaya penyelesaian kredit dengan melakukan proses lelang sekali dan berencana untuk melakukan lelang berikutnya.
Namun, untuk mempermudah proses lelang, Bank Jatim sedang mencari calon pembeli terlebih dahulu. PT SEP juga tetap menunjukkan itikad baik dalam upaya penyelesaian kredit tersebut.
“Penerapan hukum pidana khusus, dalam hal ini UU Tipikor, untuk penyelesaian Kredit PT SEP tidak seharusnya menjadi pilihan. Penerapan UU Tipikor dalam proses penyelesaian Kredit PT SEP di Bank Jatim bertentangan dengan Asas Ultimum Remedium,” ujarnya.
Asas Ultimum Remedium menyatakan bahwa hukum pidana merupakan pilihan terakhir dalam menyelesaikan suatu perkara. Dalam kasus ini, kredit macet PT SEP seharusnya dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian kredit yang lazim berlaku dalam dunia perbankan, seperti lelang jaminan.
“Kesimpulan kami, penerapan UU Tipikor dalam kasus PT SEP tidak tepat karena ada mekanisme penyelesaian kredit yang lazim di dunia perbankan,” tambahnya.
PT SEP sendiri lanjut Jekson menunjukkan itikad baik dalam menyelesaikan kredit. Penerapan hukum pidana haruslah menjadi pilihan terakhir, sesuai dengan Asas Ultimum Remedium. (*/ald)