manadoterkini.com, MANADO – Peraturan Kapolri No. 6 tahun 2019 tentang tindak pidana agar jangan sampai menghilangkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri yang didengung – dengungkan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo, tidak demikian di Polda Sulut.
Pasalnya, Laporan Polisi Nomor : STTLP/477.a/X/2020/SULUT/SPKT tanggal 19 Oktober 2020, kian tak jelas kepastian hukumnya, meski telah berproses selama kurang lebih 3 tahun.
Penanganan kasus dugaan penyerobotan tanah di lahan eks RM Dego Dego kawasan Jalan Wakeke, Kelurahan Wenang Utara Lingkungan III Kecamatan Wenang, Kota Manado dengan Terlapor MT alias Meiky, owner eks RM Dego Dego yang belakangan ditangani Polda Sulut mengambil alih dari Polresta Manado, kini menjadi buah bibir warga Kota Manado.
Bahkan Christine Irene Nansi Howan sebagai pelapor “kasus dego dego” hingga kini terus menanti adanya
kepastian hukum atas laporannya tersebut. Padahal dirinya sudah melayangkan Dumas (Pengaduan Masyarakat) ke Polda Sulut.
Ketidakjelasan proses penanganan kasus tersebut ternyata mendapat perhatian dari ahli hukum pidana, Dr. Michael Barama, SH, MH.
“Saya tahu betul kasus ini, sebab pernah dua kali diundang mengikutil gelar perkara, hingga gelar perkara khusus oleh Polda Sulut untuk dimintai pendapatnya dalam kapasitas ahli pidana namun nyatanya perkara itu belum juga tuntas,” kata Dosen Senior Universitas Sam Ratulangi Manado ini.
Menurutnya, dalam gelar perkara khusus yang dihadirinya pada tanggal 17 November 2022 tersebut, yang juga menghadirkan saksi ahli pertanahan dari BPN, Nency Runturambi, telah menghasilkan 3 kesimpulan dan 6 rekomendasi.
“Gelar perkara tersebut telah menghasilkan 3 kesimpulan dan 6 rekomendasi, diantaranya, telah ditemukan adanya tindak pidana dalam kasus itu dan merekomendasi agar penyidik melanjutkan kembali penanganan perkara tersebut,” tegas Barama.
Lanjut Barama, lebih mengherankan lagi, Polda Sulut bukannya menindaklanjuti hasil gelar perkara khusus tersebut, justru menerbitkan SP3D (Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas) No. B/20/II/RES.7.5/2023/Ditreskrimum tanggal 23 Februari 2023 yang isinya menyebutkan jika perkara tersebut masih akan dilaporkan ke Biro Wassidik Mabes Polri untuk dilakukan supervise atau asistensi.
“Harusnya ini sudah SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Di situ antara jaksa, hakim dan pengacara akan saling memberi masukan. Itulah yang dimaksudkan dalam system peradilan untuk mengontrol di dalam satu kesatuan,” jelas Mner Barama, sapaan akrab lelaki paruh baya ini.
Untuk itu penyidik Polda Sulut yang menangani perkara ini diminta saling koordinasi berdasarkan bukti-bukti yang ada tidak hanya menunggu.
“Mereka harus koordinasi apakah bukti-bukti sudah cukup atau tidak. Sebab kalau ini rusak, tidak jalan itu penegakan hukum,” beber Barama.
Dia pun mengingatkan penyidik terkait Peraturan Kapolri No. 6 tahun 2019 tentang tindak pidana agar jangan sampai menghilangkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri sebagaimana yang didengung – dengungkan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo.
“Integrated criminal justice System itu hal saling mengontrol, ada kesatuan pendapat, harus mulai dari situ untuk system penyidikannya. Apaguna penyidik bilang itu SPDP, penyerahan tahap I, tahap II. Jangan sampai UU-nya bagus tapi pelaksanaannya di lapangan nda bagus,” tegas Barama.
Untuk diketahui, saat ini Christine Irene Nansi Howan sebagai pihak pelapor masih berusaha mencari keadilan dan kepastian hukum atas laporan perkara mereka yang kini masih tertahan di Biro Wasidik Polda Sulut.
(***/ald)