Oleh: Faisal Manoppo
KOTAMOBAGU, (manadoterkini.com) – Lagi-lagi dia berkicau seenak udel e dewe. Kata-katanya membusa kesana-kemari. Hingga buihnya terpancar ke wajah-wajah lain. Kali ini secara tidak langsung saya tertantang atas tulisan bang KG lewat blog ‘senjata pamungkas-nya’, Kronik Mongondow perihal peringai para jurnalis di Bolmong Raya (BMR).
Dia menilai tugas para jurnalis di BMR semata pekerja pesanan dan bertabiat tidak mencerminkan pada profesi yang sesungguhnya. Sungguh itu jauh dari kebijaksanaan cara berfikir bang KG. Dia yang acap berlindung dibalik blog-nya itu, tidak sudi merasakan apa yang telah dihadapi para jurnalis di Bolmong raya, umumnya di Sulut ini.
Dia hanya mampu bernostalgia dengan masa lalunya itu. Memimpin di sebuah media cetak yang tidak ada kompetitornya. Kalalu boleh memilih, saya ingin hidup masa bang KG saat itu, dimana padangan hidup ‘hitam-putih’ terang benderang di sana. Atas semua itu, dalam benak saya bertanya, bila dia hidup dan mencari nafkah di BMR sebagai jurnalis, apakah dia bisa bertahan dengan situasi kekinian? Kawan-kawan (para jurnalis di BMR) pasti bakal menyangka bang KG akan lebih piawai diantara jurnalis di BMR, boleh jadi lebih lihai ketimbang salah seorang mantan Pemred yang pernah dihujatnya itu.
Tentunya ‘lincah’ melebihi dari target-target (cash-in dan produk lain diluar ranah jurnalis) yang dibebankan kepada para awak media. Soal ini, saya tidak perlu jawaban dari bang KG. Cukup dipahami saja.
Mulanya saya menunggu kemungkinan rekan lain membalas atas catatan yang diunggahnya itu. Sejak mula itu juga saya ingin langsung membalasnya karena ini memang sungguh diluar batas toleransi. Namun amarah ini sedikit terobati ketika sehari kemudian dia mengunggah kembali catatannya soal kepemimpinan Tatong Bara, di Kota Kotamobagu. Sayang, penawar obat yang dia sajikan lewat catatannya itu hanya sekelas generik. Gagasannya tidak ada yang istimewa. Malah terkesan ‘aneh’ karena justru keluar dari isi batok kepala sang tuhan “Kronik Mongondow”. Tidak mengapa saya mencoba mendahului. Lagipula “rasa kentut” ini sudah tidak tahan lagi saya letupkan.
Menyinggung keluhan Ketua DPRD Boltim, Sam Sachrul Mamonto, atas pemberitaan di media, tidak perlu membuat ikut gatal bokong bang KG. Alul, begitu saya sapa, sudah cukup mahfum dengan tabiat para jurnalis di BMR karena tidak terlepas juga sebagai kiprahnya sebelum dia akhirnya masuk di KPU dan kini pejabat publik.
Karena apa yang dia pernah lakukan saat itu, pasti juga akan dia rasakan saat ini, terlebih dengan posisinya sebagai wakil rakyat. Silahkan tanyakan langsung kepada Alul, apa yang telah dia perlakukan kepada pewarta di wilayahnya. Bila dia bijak dan bertutur santun kepada wartawan, saya yakin kawan-kawan tidak akan berlaku yang tidak dia harapkan. Wartawan juga punya rasa, dan itu manusiawi. Saya juga berkeyakinan, semasa bang KG saat itu, pasti akan melakukan hal serupa kendati dengan cara yang berbeda. Unsur subyektifitas pasti tetap akan ada.
Bagaimana dengan sentilan kecil terhadap Tatong Bara? Seperti yang bang KG utarakan dalam blog-nya, dalam menilai kinerja dan program Pemkot KK, tidak perlu kecerdasan lebih, penelitian saksama, analisis rumit, bahkan sekadar mengingat kembali hasil pelesir ke Thailand sana. Di Jembrana yang terkenal dengan kemampuannya dalam mengoptimalkan potensi SDA-nya, tidak mengenal program OTOP, OVOP atau apa saja yang membuat senang di telinga rakyat. Program peningkatan sektor UKM dan Koperasi sejatinya mampu membangkitkan kewirausahaan masyarakat. Yang patut dipertanyakan apakah selama ini pemerintah KK serius dan peduli memperhatikan sektor lantai perekonomian bangsa ini? Sejauh mana dan langkah-langkah apa saja yang dibuktikan berkaitan dengan kepedulian di bidang kewirausahaan? Berapa anggaran yang digelontorkan pemerintah KK guna mengembangkan usaha rakyat kecil yang sudah atau akan ada? Untuk menakarnya, saya tantang semua media membuat poling mengenai kinerja Walikota Tatong Bara di KK. Apakah mereka puas—ekstrimenya menyesal atau tidak, memilih—dengan kepemimpinan Tatong Bara? Saya yakin, lebih dari sebagian rakyat di KK tidak puas. Akhirnya slogan “Piye Khabare? Masih uenak jamanku, to?” bergambar Djelantik Mokodompit bertebaran di tengah kekecewaan masyarakat KK.
Olehnya, dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya berucap tidak menyangka bang KG sepandir itu menganalisa mengenai program-program yang akan dicanangkan oleh Pemkot Kota Kotamobagu. Bang KG yang selama ini saya kenal mampu mengendus bau kentut si fulan yang tinggal di Dusun Kampret, justru begitu mudahnya terjebak oleh pernak-pernik—produk jiplakan pula—tak guna Tatong Bara, Walikota Kotamobagu, dari negeri luar. (***/cha)